Pinisi,
adalah kapal layar tradisional khas asal Indonesia yang berasal dari Suku Bugis
dan Suku Makassar di Sulawesi Selatan. Kapal Pinisi umumnya memiliki dua tiang
layar utama dan tujuh buah layar, yaitu tiga di ujung depan, dua di depan, serta
dua di belakang.
Ketika Anda
berlayar di lautan Indonesia maka akan bertemu dengan salah satu kapal
tradisional yang luar biasa ini. Kapal Pinisi telah berabad-abad berlayar
hingga Malaka, Burma, Vietnam, dan Australia. Anda bisa melihat kapal tradisional
tersebut bersandar di pelabuhan Paotere Makassar, di pelabuhan Sunda Kelapa di
Jakarta, di dermaga Ujung Surabaya, di tempat pembongkaran kayu dari
Kalimantan, bahkan di pelabuhan kecil Labuhan Bajo di Flores.
Kapal Pinisi
umumnya digunakan untuk pengangkutan barang antar pulau di Nusantara. Orang
Bugis dan Mandar yang berasal dari Sulawesi Selatan adalah pembuat kapal
sekaligus pelayar yang handal. Kapal-kapal pinisi ini telah membawa orang Bugis
berlayar di kepulauan Nusantara hingga Jawa, Kalimantan, Sumatra, Papua, dan
kepulauan Nusa Tenggara. Orang Bugis tidak hanya dikenal sebagai pembuat kapal
yang handal tapi juga sebagai bajak laut yang di takuti.
Abad ke-18
saat Belanda menjajah Nusantara, banyak kaum bangsawan berlayar ke Malaysia dan
Kalimantan. Sultan Kutai di Kalimantan Timur serta Johor dan Selangor di
Malaysia adalah keturunan Bugis. Daerah pedalaman orang Bugis asli berada di
Luwu Teluk Bone.
Abad ke-13
dan 14 adalah masa berkembangnya Kerajaan Bugis. Salah satu hasil karya sastra
terbesar orang Bugis lahir pada masa ini yaitu “I
La Galigo”. Karya sastra ini berisi cerita asal muasal orang Bugis
dengan tebal lebih dari 6,000 halaman. Termasuk di dalamnya tentang kapal
Pinisi yang pertama sekali dibuat oleh Sawerigading, Putera Mahkota Kerajaan
Luwu untuk berlayar menuju negeri Tiongkok hendak meminang Putri Tiongkok yang
bernama We Cudai. Sawerigading berhasil ke negeri Tiongkok dan memperisteri
Puteri We Cudai. Setelah beberapa lama tinggal di negeri Tiongkok, Sawerigading
kembali kekampung halamannya dengan menggunakan Pinisinya ke Luwu. Menjelang
masuk perairan Luwu kapal diterjang gelombang besar dan Pinisi terbelah tiga
yang terdampar di desa Ara, Tanah Beru dan Lemo-lemo. Masyarakat ketiga desa
tersebut kemudian merakit pecahan kapal tersebut menjadi perahu yang kemudian
dinamakan Pinisi.
Kapal layar
Bugis Pinisi beratnya 100-200 ton dan saat ini masih berperan penting sebagai
angkutan tradisional dalam perdagangan antar pulau. Abad ke-19 Bugis Perahu
pernah digunakan untuk mengangkut barang-barang dari Eropa dan Cina dari
Singapura ke Dobo di pulau Aru di Nusatenggara Timur kemudian berhenti di
dermaga terpencil di sepanjang jalur. Dari kepulauan Indonesia mereka
mengumpulkan bulu-bulu burung surga, kayu cendana, rempah-rempah, emas, dan
cabe.Mereka menjual barang-barang tersebut dengan harga yang tinggi di
Singapura kepada pedagang Cina dan India.
Saat ini,
Kapal layar Bugis Pinisi membawa sejumlah kargo kecil berisi kayu gelondongan,
semen, ubin rumah, beras, gula, rokok, hingga sepeda motor untuk di jual di
seluruh pulau.
Kapal layar
tradisional Bugis Pinisi dilengkapi juga dengan peralatan tempat tinggal di
laut untuk para penyelam. Kapal kokoh ini sekarang dilengkapi kabin, dapur, dan
kamar mandi, juga peralatan ekspedisi menyelam ke Taman Komodo di Flores dan Taman Nasional Raja
Ampat, dekat Sorong di Papua Barat.
Ada dua
jenis kapal pinisi yaitu pertama
Lamba atau lambo. Yaitu Pinisi modern yang masih bertahan sampai saat ini dan
dilengkapi dengan motor diesel (PLM). Yang kedua
adalah Palari, yaitu bentuk awal pinisi dengan lunas yang melengkung dan
ukurannya lebih kecil dari jenis Lamda.
Sementara
itu Kapal layar Bugis pinisi yang berukuran besar yang sekarang ini telah
meniru kapal layar Barat abad ke-19. Selain itu juga merupakan versi besarnya
dari perahu Bugis terdahulu, dikenal sebagai Perahu Patorni dan Padewakang.
Kapal pinisi
yang merupakan salah satu kapal tradisional kebanggaan Indonesia dan memiliki
keunikan dalam pembuatannya. Umumnya, seperti kapal-kapal di negara Barat,
rangka kapal dibuat lebih dahulu baru dindingnya. Sedangkan kapal pinisi,
pembuatannya dimulai dengan dinding dulu baru setelah itu rangkanya.
Kapal layar
pinisi dapat Anda ditemukan di pantai selatan Sulawesi Selatan, berpusat di
sekitar Bulukumba di Tana Beru. Di sini Anda dapat menyaksikan pembuatan kapal
yang mengesankan dengan alat tradisional.
Konstruksi
kapal Pinisia adalah gabungan pengetahuan dan pengalaman tradisional kuno
disertai ritual yang ketat yang harus diikuti untuk memastikan keamanan di
laut. Para pengrajin perahu ini harus menghitung hari baik untuk memulai
pencarian kayu sebagai bahan baku. Biasanya jatuh pada hari ke lima dan ketujuh
pada bulan yang berjalan. Angka 5 (naparilimai
dalle'na) yang artinya rezeki sudah di tangan. Sedangkan angka 7 (natujuangngi dalle'na) berarti
selalu dapat rezeki. Setelah dapat hari baik kemudian kepala tukang yang
disebut "punggawa"
memimpin pencarian.
Tidak ada
rancangan atau catatan tertulis dalam kertas untuk membuat kapal Pinisi.
Seorang punggawa telah semua
detail rancangan Pinisi hanya di kepala mereka.
Meskipun
para pengrajin kapal ini sering disebut sebagai orang Bugis, namun mereka
dibagi menjadi empat sub suku. Keempatnya adalah Konjo di bagian selatan
Sulawesi Selatan (Ara, Bira dan Tanah Biru), Mandar di Sulawesi Barat sampai
bagian utara Makasar, Bugis di wilayah sekitar Wajo bagian timur Teluk Bone,
dan Makassar di wilayah sekitar Kota Makasar. Di antara semua itu, Konjo adalah
yang paling berpengaruh dalam pembuatan kapal pinisi.
Ekspedisi
kapal Pinisi Indonesia yang terkenal adalah Pinisi Nusantara telah berlayar ke
Vancouver, Kanada, memakan waktu 62 hari tahun 1986. Tahun 1987, ada lagi
ekspedisi perahu Padewakang, "Hati Marige" ke Darwin, Australia,
mengikuti rute klasik. Lalu Ekspedisi Ammana Gappa ke Madagaskar, terakhir
pelayaran Pinisi Damar Segara ke Jepang.
sumber Indonesia's Official Tourism Website
0 komentar:
Posting Komentar